Di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi Terdapat Catatan Buruk Demokrasi Dan Dugaan Korupsi
SAS & PARTNERS ARTICLE
3/21/2025
Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mengandung nilai-nilai luhur pancasila menjadi junjungan masyarakat demi tercapainya cita-cita negeri. Keadilan, kejujuran, keterbukaan sebagai prinsip demokrasi merupakan prinsip-prinsip yang harus terakomodasi. Partisipasi aktif masyarakat atau warga negara dalam pengambilan keputusan politik juga merupakan prinsip fundamental yang harus selalu ada di dalam demokrasi. Namun nilai-nilai demokrasi acapkali dikangkangi dan dikotori oleh oligarki atau penikmat korupsi demi mendapatkan legitimasi hukum. Pesta demokrasi mulai dari pemilihan presiden, legislatif, dan diakhiri pemilihan calon kepala daerah serentak telah diakhiri dengan ketukan palu Hakim Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Februari 2024.
Mahkamah Konstitusi sebagai Legal Result di dalam pemilu telah banyak melahirkan nilai-nilai demokrasi dan juga kontroversi. Hakim Mahkamah Konstitusi yang terikat sumpah di atas kitab suci di hadapan Sang Ilahi terkadang tiada berarti akibat putusan yang kontroversi. Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi menjadi suatu keharusan atau kewajiban, namun tidak berarti putusan tersebut tidak boleh dikritisi atau diduga mengandung perbuatan korupsi.
Sebagai insan yang berpikir tentunya pikiran itu akan selalu mengalir ke dalam setiap tarikan nafas di dalam mempelajari setiap titik, koma, kata, dan kalimat-kalimat yang terkandung di dalam putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Dasar hukum dan bukti-bukti menjadi dasar di dalam menguji setiap perkara, mulai dari mencari keadilan prosedural sampai dengan keadilan yang substantif demi tercapainya pemilu murni merupakan cara bekerja Mahkamah Konstitusi.
Di tahun 2024 terdapat 310 perkara yang terregistrasi dan yang lolos ke proses pembuktian hanya ada 40 perkara. Dari 40 perkara terdapat satu perkara yang menarik di dalam sengketa pilkada serentak tahun ini, yaitu sengketa pilkada Kabupaten Mandailing Natal yang merupakan satu-satunya perkara yang mempermasalahkan ketidak terpenuhan persyaratan di awal pencalonan yang dikuatkan dengan adanya Rekomendasi Bawaslu Kabupaten, ketidak terpenuhan persyaratan tersebut adalah tidak diserahkannya Tanda Terima LHKPN sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 7 ayat (2) huruf j Jo Pasal 45 ayat (2) huruf c UU 10/2016 Jo Pasal 14 ayat (2) huruf I Jo. Pasal 20 ayat (2) huruf c PKPU 8/2024 Jo. Surat Edaran KPK Nomor 13 tahun 2024 Jo Surat Edaran KPU Nomor 1536 Tahun 2024. Setiap Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, dan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati wajib menyerahkan TANDA TERIMA Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tahun 2024 ketika ingin mencalonkan diri, penyerahan persyaratan TANDA TERIMA LHKPN tersebut harus diserahkan dengan menyesuaikan program dan jadwal kegiatan pencalonan yang telah ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. LHKPN yang merupakan indikator awal transparansi Calon Kepala Daerah merupakan syarat penting dan tidak boleh dianggap sebelah mata, di dalam LHKPN terkandung makna transparansi, kejujuran dan semangat anti korupsi. LHKPN bertujuan menjaga orang baik untuk tetap baik. Salah satu yang menarik di dalam putusan MK di sengketa PHPU BUP Mandailing Natal adalah tentang Pertimbangan Mahkamah terhadap Niat Baik dan Kejujuran Pasangan Calon. Menarik untuk dianalisa secara akademik, menarik untuk dianalisa bagaimana MK menginterpretasikan itikad Baik dan Kejujuran, apakah Itikad baik yang benar-benar Itikad baik, kejujuran yang benar-benar kejujuran atau ada faktor tertentu yang menjadikan ia seolah-olah Itikad Baik atau seolah-olah jujur demi untuk memenangkan pasangan calon tertentu?
Rekomendasi Bawaslu dan Putusan DKPP RI tidak berguna dan tidak berarti.
Di dalam Sengketa Kabupaten Mandailing Natal terdapat Rekomendasi Bawaslu yang menyatakan Pasangan Calon tidak memenuhi syarat, rekomendasi tersebut kemudian tidak ditindaklanjuti oleh KPU Kabupaten, sehingga diputuskan untuk dipersengketakan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi khususnya Panel 1 tidak mempertimbangkan sama sekali adanya rekomendasi Bawaslu Kabupaten. Bawaslu sebagai Lembaga Pengawas Pemilu satu-satunya di Republik ini dibuat tidak berguna atau tidak bermanfaat. Dengan adanya Putusan Perkara Kabupaten Mandailing Natal akan menimbulkan prinsip baru serta permasalahan hukum baru jika ingin bersengketa di Mahmakamah Konstitusi. Kedepan siapa saja akan dapat menjadikan Putusan Kab. Mandailing Natal ini sebagai dasar untuk mengajukan gugatan/ permohonan ke MK walaupun sebelumnya telah ada Rekomendasi Bawaslu namum MK dapat mengabaikan rekomendasi Bawaslu tersebut secara serta merta, bahkan ke depan Komisi Pemilihan Umum juga tidak perlu lagi menerima dan/ atau mentaati setiap rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bawaslu, dasarnya apa? ya ini putusan Nomor: 32/PHPU.BUP-XXIII/2025 sebagai dasar yang membenarkannya. Ke depan Bawaslu tidak akan memiliki legitimasi dan fungsi di dalam mengeluarkan rekomendasi proses kepemiluan. Putusan MK di dalam Perkara Kab. Mandailing Natal ini merupakan hadiah terburuk yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam pemeriksaan Perkara di Pilkada Serentak tahun 2024.
Standarisasi Mahkamah Konstitusi tentang Itikad Baik dan Kejujuran di Perkara Mandailing Natal berbeda dengan Itikad Baik dan Kejujuran di Perkara Provinsi Papua.
Pertimbangan Majelis Hakim di dalam memutuskan Perkara merupakan suatu dasar yang fundamental dan esensial. Di dalam pertimbangan Pilkada Mandailing Natal “Itikad Baik dan Kejujuran” merupakan dasar Majelis Hakim dalam memutuskan perkara tersebut, demikian juga dengan perkara Provinsi Papua. Mahkamah Konstitusi di kedua perkara tersebut menjadikaan Itikad Baik dan Kejujuran sebagai nilai tertinggi di dalam pelaksanaan pemenuhan persyaratan calon. Kemudian timbul suatu pertanyaan, apakah nilai Itikad Baik dan Kejujuran di dalam sengketa pilkada Mandailing Natal dan sengketa Pilkada Papua adalah sama? Atau adakah perbedaan terhadap keduanya?
Mahkamah Konstitusi memiliki standar ganda di dalam menerapkan nilai Itikad Baik dan Kejujuran di sengketa Kab. Mandailing Natal dan sengketa Prov. Papua. Di dalam sengketa Pilkada Kab. Mandailing Natal Mahkamah Konstitusi menilai penyerahan Persyaratan Bukti LHKPN tahun 2021 (bukan TANDA TERIMA) milik Syaefullah kepada KPU Kab. Mandailing Natal yang sesungguhnya bukan yang dipersyaratkan oleh PKPU nomor 8 Tahun 2024 dan diserahkan setelah melewati jadwal kegiatan yang diatur di dalam PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Kemudian penyerahan Bukti LHKPN tahun 2021 oleh Syaefullah tersebut dianggap oleh Mahkamah Konstitusi sebagai Itikad Baik dan Kejujuran dari Syaefullah walaupun hal tersebut telah melebihi batas waktu yang ditentukan dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbanding terbalik di perkara sengketa Pilkada Gubernur Papua, di dalam pertimbangan putusannya dikatakan Yermias Bisai terbukti tidak jujur dan tidak beritikad baik dalam memenuhi persyaratan calon dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Tahun 2024. Tidak jujur dalam hal memberikan informasi mengenai alamat tempat tinggal dan tidak beritikad baik dalam memenuhi persyaratan calon Wakil Gubernur.
Mahkamah Konstitusi secara tegas dan keras menyatakan bahwa Yermias Bisai terbukti tidak beritikad baik dan tidak jujur dalam memenuhi persyaratan pencalonan, hal ini dikarenakan didapatkannya alamat Yermias Bisai yang berbeda pada dokumen yang dikeluarkan PN Jayapura yaitu Surat Keterangan Tidak Pernah sebagai Terpidana dan Surat Keterangan Tidak sedang dicabut Hak Pilihnya yang ternyata bukan tempat tinggal calon atas nama Yermias Bisai. Mahkamah Konstitusi tidak memberikan sedikitpun ruang atau alasan pemaaf kepada Yermias Bisai terhadap adanya ketidak sesuaian alamatnya, tidak memberikan ruang maaf terhadap pelanggaran administrasi atau prosedural tersebut, hal ini terbukti dengan MK mendiskualifikasi Yermias Bisai dan memerintahkan untuk dilakukan PSU, namun pelanggaran prosedural dan administrasi yang dilakukan oleh Syaefullah di Perkara Kab. Mandailing Natal dianggap sebagai Itikad baik dan Kejujuran, walaupun tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aneh dan sangat janggal, bagaimana mungkin Mahkamah Konstitusi memiliki standar ganda tentang Itikad Baik dan Kejujuran? Apakah Itikad Baik dan Kejujuran tersebut tergantung siapa yang berperkara? Apakah Itikad Baik dan Kejujuran tersebut tergantung bagaimana “pengertian” pihak yang berperkara? Atau apa?. Dari 2 Putusan MK ini terlahir 2 arti atau tafsir Itikad Baik dan Kejujuran, dari 2 putusan ini jugalah terlahir Itikad Baik dan Kejujuran yang bertolak belakang satu sama lainnya, kelak dari 2 putusan ini dapat dijadikan dasar untuk berperkara di MK, khususnya yang tidak beritikad baik dan tidak jujur dapat dianggap beritikad baik dan jujur, sebaliknya, yang beritikad baik dan jujur juga dapat dianggap menjadi tidak beritikad baik dan tidak jujur, tinggal menyesuaikan dimana posisi pihak yang akan berperkara di MK. Kedua putusan ini sangat janggal, patut untuk dikritisi dan dijadikan bahan diskusi lalu dipertanyakan secara bersama-sama agar kelak tidak terulang dan terjadi kembali.
KPK, Kejaksaan, dan Polri perlu menyoroti Putusan MK di Pilkada Mandailing Natal.
Kejanggalan yang terdapat di dalam putusan Mahkamah Kontitusi di Perkara Kab. Mandailing Natal dan Provinsi Papua merupakan kejanggalan yang sangat tidak pantas dan tidak patut untuk terjadi. Ada yang aneh, sungguh putusan tersebut tidak akademis, tidak rasional dan penuh dengan kontroversi, ini tidak boleh dibiarkan demi tegaknya demokrasi dan pemilu yang sehat, khususnya untuk perkara Kab. Mandailing Natal, sungguh sangat menarik untuk diselidiki, Lembaga Penegakan Hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri harus menyoroti dan menelusuri kejanggalan di balik putusan ini, praduga adanya permainan kotor di balik Putusan Kab. Mandailing Natal bukan tanpa dasar, praduga itu timbul konkret dengan janggalnya pertimbangan Hakim MK di dalam putusannya, khususnya untuk ketiga Hakim pada Panel 1 yang memeriksa perkara tersebut, apakah akan kembali terjadi terungkapnya kasus yang pernah menimpa Mantan Ketua Hakim Mahkamah Kostitusi Akil Mochtar?
Written by: Salman Alfarisi, S.H. M.H., C.Me.

